Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Stigma Guru

Beberapa waktu yang lalu, saya asyik WA-an dengan teman. Tiba-tiba dia nulis: "Metro TV, Mata Najwa". Karena saya juga suka nonton Mata Najwa, sontak saya ubah chanel TV saya ke Metro TV. Tapi sial, ketika diubah, ternyata chanel Metro TV tidak ada sinyal. Saya tidak tahu siapa yang usil mengubah frekuensi chanel Metro TV itu. Saya pindah ke kamar anak saya. Dia asyik nonton sinetron di RCTI. Saya coba bujuk dia untuk pindah chanel ke Metro TV. Setelah minta "hadiah" dielus gegernya, akhirnya dia mau.

           Di acara Mata Najwa kali ini saya kebagian tiga gubernur yang diwawancarai Najwa Sihab. Tiga gubernur dengan personal brainded yang berbeda. Ada Pak Ahok dengan gaya koboinya dalam memimpin DKI. Ada Pak Ganjar yang lowprofile tapi tegas dalam memimpin dengan gaya bicarannya yang khas. Ada juga Pak Rano Karno yang sedang dalam proses "hijrah" dari mindset Si Doel ke Gubernur Banten.

Ketika ditanya tentang kenikmatan dalam memimpin pun, mereka juga punya persepsi beragam. Pak Ahok terlihat "nikmat" kalau bisa memecat pejabat yang tidak serius mengurus rakyat (layaknya seorang pelatih sepakbola yang sewaktu-waktu bisa menarik pemain ke luar lapangan). Pak Ganjar terlihat akan "nikmat" kalau dia bisa "mengorangkan" rakyat kecil ketika dia blusukan. Sementara Pak Rano Karno lebih nikmat kalau dia turun di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng dengan bahasa: "Selamat datang di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng Banten" (bukan Jakarta). Bukan: "Penyelundupan Narkoba telah digagalkan di Bandara Soetta Tangerang Banten". Artinya, ketika ada stigma positif mindsetnya Jakarta, ketika stigma negatif, mindsetnya  Banten.

Mencermati pernyataan Pak Rano, saya teringat tentang mindset guru. Ketika ada anak yang cerdas, pintar, berprestasi, maka bahasa pertanyaan yang muncul: "dia anaknya siapa?". Tetapi ketika ada anak bermasalah, nakal, suka tawuran, maka bahasa pertanyaan yang muncul: "dia murid siapa, sekolahnya di mana?

Ya, giliran positif orang tua yang muncul. Giliran negatif, guru yang dipertanyakan. Itulah fenomena. Tapi saya masih punya keyakinan bahwa guru tetaplah sosok yang digugu dan ditiru. Mereka teladan bagi siswanya, keluarganya, dan masyarakatnya.

***

Sehari berikutnya, saya kedatangan tamu dari Surabaya. Mereka tim narasumber untuk Sosialisasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan Dasar untuk Komite Sekolah di Kab. Sumenep.

Sore, sekitar pukul 14.30 mereka chek in d hotel. Di loby hotel kami diskusi seputar  materi yang akan disampaikan dalam sosialisasi. Sambil diskusi, saya sempat nonton Metro TV yang saat itu menayangkan cuplikan acara Mata Najwa. Di situ tertayang Pak Anis (waktu itu masih sebagai Menteri Pendidikan) sedang diwawancarai oleh Najwa.

Malam, pukul 20.00 Mata Najwa tayang dengan tema Belajar dari Ki Hajar Dewantara. Salah satu poin yang disampaikan Pak Anis adalah tiga pusat pendidikan. Pusat pertama dan utama adalah keluarga. Pusat kedua adalah sekolah. Pusat ketiga adalah lingkungan masyarakat.

Pak Anis berharap bahwa ketiga pusat pendidikan ini bisa bersinergi dengan baik. Orang tua bisa menjadi teladan yang baik bagi anak anak. Sekolah (guru) bisa menjadi teladan yang baik bagi siswa. Lingkungan bisa menjadi tempat yang baik bagi masyarakatnya.

Ingat tri pusat pendidikan, saya juga teringat dengan teman guru SMA yang ngajar di pulau dulu. Pulau yang jarak tempuhnya sehari semalam dari Sumenep daratan, lewat  perjalanan laut. Dia yang pernah jadi wakasek kesiswaan, suatu malam (dini hari sekitar pukul 01.30) ditelpon oleh pihak polsek setempat. Dia diminta datang ke polsek malam itu untuk ngurus anak yang ditangkap polisi karena dituduh mencuri rokok di pedagang asongan dekat kantor polisi.

Akhirnya untuk kepentingan si anak, teman saya berangkat ke kantor polsek. Tiba di polsek, dengan negosiasi yang cukup alot, akhirnya anak itu dibebaskan dan dikembalikan ke orang tuanya. Jadi, orang tuanya baru tahu setelah anak itu diurus gurunya. 

Dari sini saya berpikir bahwa ternyata guru itu bertugas nonstop untuk murid-muridnya. Pembagian tugas yang tidak berimbang pada guru ini sebenarnya perlu diluruskan. Di sini seolah tripusat pendidikan itu tidak bisa dioptimalkan dengan baik. Guru seolah menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas kehidupan siswanya selama 24 jam. Padahal, guru juga manusia biasa yang memiliki keluarga (anak-istri) dan bertanggung jawab atas keluarganya juga.

Kisah di atas menunjukkan bahwa betapa guru kadang-kadang menjadi tokoh yang ‘dipentingkan’ dengan segala stigma yang dipikulnya. Namun demikian, itulah fenomena yang terjadi di masyarakat kita terkait dengan guru. Di satu sisi, memang cukup berat stigma budaya yang terkait dengan mindset guru. Namun, di sisi lain, sudah selayaknya guru terus meningkatkan kompetensinya karena guru adalah tenaga terdepan yang ikut menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Ya, begitulah guru!

 


Abd. Kadir
Abd. Kadir Kepala Bidang Pembinaan SD, Dinas Pendidikan Kab. Sumenep

33 komentar untuk "Stigma Guru"

  1. Balasan
    1. Jaja Tarona, ja-ngaja dhari terrona.

      Tetap semangat pak Kabid 💪

      Hapus
  2. Kereeeeen, lanjutkan dg gubernur DKI yg sekarang Pak Haji ..

    BalasHapus
  3. Ini baruuuu..... kapasitas P Kabid.
    Siiip!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pak kabid yang bisa membaur dengan semua insan pendidikan, tidak terlalu menjaga jarak antara atasan dan bawahan, kendatipun di musim pandemi ini kita diharuskan memperhatikan protokol kesehatan yang salah satunya jaga jarak. Hehehe.....

      Hapus
    2. Hahaha, ajaga tolesan bai, polana sabban Minggu eberrik kawajiban nyettor tolesan😀😀😀

      Hapus
    3. Kodu badha tolesan se anyar samenggu sakaleyan dhari pa' Kabid e blog BBC (sesuai kesepakatan, deal).
      Jareya minimal, noles sabban are ta' arapa sajan bagus.

      Paling tidak dengan tulisan-tulisan pak kabid di blog ini secara tidak langsung bisa membangkitkan anggota BBC yang belum bisa menulis (seperti saya, hehehe...) sehingga termotivasi untuk belajar menulis. Sedangkan bagi teman-teman KS yang sudah terbiasa menulis akan lebih menguprade diri mereka untuk lebih berkarya dan terus berkarya.

      Hapus
    4. hahaha, siap. Ini juga untuk memotivasi teman-teman yang lain untuk menulis

      Hapus
  4. Super sekali Bosku
    Teknik baca non dark mode
    Teknik postingnya nunggu tutorial Bos Ramly

    BalasHapus
  5. Mon Mare noles....
    Biasanya pas plong...

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah, malam Jumat @mberrit.com

    BalasHapus
  7. Sepakat pak Kadir, tugas guru memang berat, namun berkahnya luar biasa. Ini terlihat banyak anak guru yang sukses di banding anak pejabat. Dalam budaya Jawa dahulu, saat masih ada dikhotomi kelas kawulo alit VS priyayi.... Untuk "naik tingkat" menjadi priyayi biasanya dipilih jabatan guru. Jadi tokoh hebat bagi saya tetaplah GURU,

    BalasHapus
  8. alhamdulillah, semoga berkah tetap mengiringi para guru. terima kasih. salam!

    BalasHapus